JILBAB; Antara Syari’at dan budaya
(Telaah Kritis Surat Al-Ahzab:59)
BAB I
PENDAHULUAN
Al-Qur’an adalah sumber dari segala sumber hukum Islam. Sebagai pusat
sumber, al-Qur’an dituntut untuk mampu menjawab setiap persoalan
yang muncul di tengah dinamika zaman. Ia harus senantiasa relevan di setiap
bentuk kondisi maupun tempat agar Jargon al-Qur’an “Shalihun likulli zaman
wa makan” tidak menjadi jargon dusta tanpa bukti.
Al-Qur’an adalah kalam Tuhan yang telah mengalami
tekstualisasi atau dalam bahasa lain telah terjadi strukturalisasi kalam Tuhan.
Sebuah teks sakral yang menjadi pedoman hidup umat Islam. Maka tak heran, jika
kemudian Nashr Hamid abu Zayd, seorang pemikir Islam kontemporer menyebut
peradaban Islam adalah peradaban teks (Hadlarah an-Nash).
Dalam sejarahnya, al-Qur’an senantiasa berdialektika dengan
kondisi sosial budaya pada masanya. Ayat-ayat hukum kerap kali turun sebagai
bentuk respon atas sebuah peristiwa yang terjadi saat itu. Permasalahan yang
muncul kemudian adalah bagaimana menyikapi ayat yang turun sebagai respon
khusus atas suatu peristiwa. Memperlakukan ayat tersebut secara umum tanpa
memepertimbangkan historisitasnya atau mengambil signifikansi yang
terkandung dalam ayat tersebut?
Ayat yang berbicara mengenai jilbab dalam surat al-Ahzab
ayat 59, setidaknya dapat mewakili satu di antara sekian banyak ayat yang
memunculkan masalah di atas. Beragam jenis tafsir pun banyak bermunculan
sebagai bentuk penyikapan. Di era kontemporer saat ini, jilbab tidak
hanya dijadikan sebagai sebuah penutup aurat belaka. Ia telah menjadi sebuah
budaya , bahkan lebih ekstrim, ia telah berubah menjadi sebuah mode dan
aksesoris penambah kecantikan. Oleh karenanya, dalam makalah singkat ini, kami
akan mengeksplor tafsir ayat 59 dari surat al-Ahzab.
BAB II
PEMBAHASAN
JILBAB: ANTARA SYARI’AT DAN BUDAYA
A. Ayat Hukum (Al-Ahzab:59)
$pkr'¯»t ÓÉ<¨Z9$# @è% y7Å_ºurøX{ y7Ï?$uZt/ur Ïä!$|¡ÎSur tûüÏZÏB÷sßJø9$# úüÏRôã £`Íkön=tã `ÏB £`ÎgÎ6Î6»n=y_ 4 y7Ï9ºs #oT÷r& br& z`øùt÷èã xsù tûøïs÷sã 3 c%x.ur ª!$# #Yqàÿxî $VJÏm§ ÇÎÒÈ
59.
Hai Nabi, Katakanlah kepada
isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin:
"Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka".
yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak
di ganggu. dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
B.
Analisis Semantik
أزواج:
Yang dimaksud
dalam ayat tersebut adalah Ummahat
al-Mu’minin, yakni istri-istri Rasul. Secara etimologis, lafadz زوج diperuntukkan
bagi laki-laki maupun perempuan. Sementara pengucapan Lafadz زوجة ,
dengan menggunakan ta’ ta’nits dianggap benar, namun kurang fasih. Sebab, dalam
al-Qur’an tidak pernah ditemukan penggunaan lafadz tersebut dengan tambahan ta’
ta’nits.[1]
يدنين:
Dari akar kata دنا
yang bermakna dekat atau turun.[2]
Lafadz يدنين
muta’addi dengan bantuan huruf jerr berupa على
[3] ,
sebab dalam lafadz tersebut mengandung makna as-Sadl
(menguraikan/membiarkan turun).[4]
Maksud يدنين
dari ayat tersebut adalah menutup wajah dan tubuh mereka supaya terbedakan
antara wanita-wanita yang merdeka dan budak.[5].
جلابيبهن:
Bentuk jamak dari lafadz جلباب ,
yakni sejenis pakaian yang lebih lebar dari pada khimar (penutup/tudung kepala
wanita). Sebagian ulama ada yang mengatakan bahwa jilbab sama dengan rida’ (sejenis
selendang/penutup kepala). Pendapat ini didasarkan pada riwayat dari Ibnu Abbas
dan Ibnu Mas’ud.
Namun, ada pula sebagian ulama yang lain mengatakan bahwa jilbab sama
dengan Qina’ (cadar/ tutup kepala wanita) Maksudnya adalah pakaian yang
menutupi seluruh anggota tubuh.[6]
Dari beberapa pendapat ulama tentang definisi jilbab di atas, As-Shabuni
mengambil kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan jilbab adalah setiap pakaian
yang menutupi seluruh anggota badan perempuan yang menyerupai mala’ah
(semacam baju kurung wanita).[7]
أدنى:
Isim tafdhil[8]
bermakna lebih dekat.
C.
Makna
Global
Sebagai seorang utusan Allah, Nabi
Muhammad mempunyai kewajiban untuk mengarahkan dan membimbing umatnya agar
senantiasa beretika secara islami. Syari’at hijab yang termaktub dalam surat
al-Ahzab 59 adalah salah satu bentuk titah Allah yang sangat erat kaitannya
dengan etika tersebut.
Syari’at hijab yang diwajibkan pada
wanita muslimah bertujuan untuk menjaga kehormatan dan kemuliaan mereka.[11]
Selain itu Allah mensyariatkan hijab juga bertujuan agar para wanita terbebas
dari gangguan maupun godaan orang-orang fasiq.[12]
Dengan pemakaian jilbab, seorang wanita akan dapat lebih mudah dikenali. Sebab
saat itu, dari segi fisik belum ada pembeda antara wanita budak dan merdeka.[13]
D.
Sosio-historis Ayat
Untuk meperlengkap dan mempertajam sebuah penafsiran
terhadap ayat hukum,maka aspek
historis dari ayat tersebut menjadi sesuatu yang harus diketahui. Al-Qur’an
senantiasa berdialektika dengan zaman. Al-Qur’an tidak pernah mengabaikan
kondisi sosial masyarakat pada waktu itu. Demikian juga pada ayat 59 dari surat
al-Ahzab, ayat ini mempunyai sejarah. Sejarah penting bagi seorang penafsir
dalam melakukan interpretasi terhadap ayat tertentu.
Mengenai aspek historis (Asbabun Nuzul)
dari ayat di atas, secara umum ulama sepakat dalam satu peristiwa meskipun dari
segi redaksi matan terdapat perbedaan. Peristiwa yang menjadi sebab turunnya
ayat di atas bermula dari kebiasaan orang-orang fasiq penduduk madinah yang
selalu keluar (begadang) di kegelapan malam. Mereka selalu menggoda
perempuan-perempuan Madinah yang sedang keluar malam untuk memenuhi hajatnya.
Ketika mereka ditanya mengapa mengganggu wanita-wanita tersebut, mereka
menjawab, “kami kira mereka itu wanita budak”. Kemudian turunlah surat
al-Ahzab:59 sebagai respon atas kejadian itu.[14]
E.
Interpretasi Surat Al-Ahzab:59
Seluruh ulama, baik klasik maupun
kontemporer sepakat bahwa ayat di atas membicarakan tentang jilbab. Dengan
demikian maka fokus kajian hukum yang terkandung dalam ayat tersebut adalah
mengenai hukum mengenakan jilbab bagi wanita muslimah.
Mayoritas jumhur ulama klasik seperti
Al-Qurtubi, At-Thobary, Az-Zamakhsyary, dll. sepakat atas kewajiban mengenakan
jilbab bagi wanita muslimah. Meskipun dalam hal ini, masih terdapat perbedaan
mengenai tata cara pemakaiannya akibat perbedaan batas aurat wanita. Sementara
sebagian ulama kontemporer mengatakan tidak ada kewajiban bagi seorang muslimah
untuk mengenakan jilbab. Pendapat ini dipegangi oleh pemikir-pemikir yang
muncul pada sekitar abad 19-20
an, seperti M. Syahrur, Said al-Asymawi dan M. Quraish Shihab.
Ayat 59 dari surat al-Ahzab ini sangat berkaitan erat dengan
surat an-Nur ayat 31 yang menjelaskan tentang wajibnya menutup aurat. Maka,
dalam penafsirannya pun para ulama selalu menghubungkan kedua ayat tersebut.
Surat al-Ahzab 59 merupakan pelengkap syari’at dari surat an-Nur ayat 31.
Zhahir dari surat al-Ahzab:59, telah dengan sangat jelas
memberikan indikasi bahwa pemakaian jilbab bagi wanita adalah sesuatu yang
wajib. Dari segi semantik, ayat tersebut terbebas dari shighat
fi’il amar (kata perintah). Jumlah
úüÏRôã termasuk kalam khabari bukan insya’iy[15]
. Salah satu dari bentuk kalam insya’ adalah kalam tersebut harus terdapat
shighat fi’il amar. Sementara asal dari perintah adalah wajib. Meskipun ayat
tersebut tidak menggunakan shighat fi’il amar, ayat tersebut tetap memberikan
implikasi hukum wajib. Sebab, gaya bahasa dari ayat di atas memberikan faidah
perintah secara tersirat.[16]
Konsep inilah yang dipegangi oleh mereka yang mewajibkan pemakaian jilbab bagi
seorang wanita.
Permasalahan yang kemudian muncul
adalah tentang tata cara pemakaian jilbab. Ibnu Jarir at-Thabari, sebagaimana
dikutip as-Shabuni, berpendapat bahwa seorang wanita selain diharuskan menutup
rambut dan kepalanya, ia juga harus menutup wajahnya dan hanya boleh
menampakkan mata sebelah kiri saja.[17]
Sedangkan Abu Hayyan meriwayatkan dari Ibnu Abbas dan Qatadah, bahwa seorang
wanita harus mengulurkan jilbabnya sampai di atas dahi kemudian mengaitkannya
ke hidung. Wanita boleh menampakkan kedua matanya, namun harus menutupi dada
dan sebagian besar wajahnya.[18]
Setelah menampilkan beberapa pandangan ulama, Ali ash-Shabuni pun senada dengan
ulama yang menyatakan bahwa kewajiban wanita tidak hanya sekedar menutup rambut
dan kepala saja, namun wajah pun harus juga ditutup. Ia mendasarkan pendapatnya
pada surat an-Nur:31 yang mengharuskan seorang wanita untuk tidak menampakkan
perhiasannya. Sedangkan asal dari segala bentuk perhiasan adalah wajah, maka
menutupinya adalah sebuah keharusan.[19]
Di antara hadits yang dijadikan dasar oleh mereka yang mewajibkan menutup wajah
adalah sebuah riwayat dari Jarir bin Abdullah yang ketika itu menanyakan
tentang hukum memandang seorang wanita, maka Rasul pun menjawab “Palingkanlah
pandanganmu!” dan sebuah riwayat dari Ibnu Abbas, bahwa suatu hari Fadhil
bin Abbas mengikuti Rasulullah di belakang. Fadhil adalah seorang yang memiliki
wajah dan rambut yang indah. Kemudian datanglah seorang wanita dari suku
Khats’am yang meminta fatwa kepada Rasul. Saat itu antara fadhil dan wanita
tersebut saling pandang memandang. Maka Rasul pun mengalihkan pandangan Fadhil.[20]
Sementara itu, mayoritas ulama dari
kalangan Malikiyah dan Hanafiyah menyatakan bahwa pemakaian jilbab tidak harus menutupi
wajah. Mereka menyandarkan pendapatnya pada sebuah hadits yang diriwayatkan
oleh sayyidah A’isyah bahwa suatu hari Asma’ binti Abu Bakar menemui Rasulullah
SAW. Ia mengenakan baju tipis, maka Rasul pun memalingkan pandangannya
dan berkata “Hai Asma’! Seorang wanita yang telah baligh tidak boleh
menampakkan seluruh tubuhnya kecuali ini dan ini”, beliau memberi isyarat pada wajah dan kedua
telapak tangannya.[21]
Al-Qurthubi dalam al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an menambahkan argumentasi logis
bahwa pengecualian wajah dan telapak tangan dalam hal ini adalah pendapat yang
layak untuk dipegangi. Sebab, dalam ibadah, seperti halnya sholat maupun ihram,
seorang perempuan diharuskan untuk menampakkan wajah dan kedua telapaknya.
Andaikan keduanya termasuk aurat maka seharusnya dalam ibadah shalat perempuan
pun diharuskan menutup keduanya. Sebab hukum menutup aurat dalam
shalat adalah wajib.[22]
Senada dengan Al-Qurthubiy, Wahbah
Zuhaili dalam karya monumentalnya “Fiqh Islam waAdillatuhu”, menyatakan
bahwa aurat perempuan adalah seluruh anggota tubuh kecuali wajah dan telapak
tangan. Namun, ia juga menambahkan keterangan bahwa jika seseorang memandang
wajah perempuan disertai dengan syahwat maka hukumnya haram.[23]
Hal ini didasarkan pada konsep Sadd adz-Dzari’ah.[24]
Meski di antara para ulama tersebut terjadi perbedaan
pandangan tentang wajib dan tidaknya menutup wajah, namun mereka masih sepakat
bahwa kewajiban berjilbab bagi wanita muslimah adalah syari’at dari Syari’ yang
harus dita’ati. Jilbab tidak hanya sekedar budaya orang Arab. Syari’at jilbab
berlaku umum bagi seluruh wanita muslimah di dunia. Spesifikasi kejadian pada
saat turunnya Al-Ahzab:59, tidak menghalangi dilalahnya yang berlaku secara
menyeluruh. Hal ini sesuai dengan kaidah ushuliyah “Al-Ibrah bi Umumil
Lafdzi La bi Khushus as-Sabab”.
Terkait dengan masalah ini, seorang
pemikir islam kontemporer M. Syahrur menolak berbagai macam pendapat di atas.
Menurutnya jilbab bukanlah kewajiban seorang muslimah. Kewajiban seorang
muslimah hanyalah menutup aurat. Dengan teori andalannya, yakni teori limit[25],
ia mengambil kesimpulan bahwa batas minimal aurat perempuan adalah
sebagaimana termaktub dalam surat an-Nur:31 yang berbunyi:
@è% ÏM»uZÏB÷sßJù=Ïj9 z`ôÒàÒøót ô`ÏB £`ÏdÌ»|Áö/r& z`ôàxÿøtsur £`ßgy_rãèù wur úïÏö7ã £`ßgtFt^Î wÎ)
$tB tygsß $yg÷YÏB ( tûøóÎôØuø9ur £`ÏdÌßJè¿2 4n?tã £`ÍkÍ5qãã_ (
Dalam pandangan Syahrur, batas minimal
aurat wanita muslimah adalah “Juyuub”, yakni lubang atau celah dari
badan seseorang yang tersembunyi yang memiliki dua lapisan, bukan satu lapisan.
“Al-Juyuub” pada wanita memiliki dua lapisan, atau dua lapisan beserta
lubangnya, yakni antara dua payudara, di bawah dua payudara, di bawah dua ketiak,
kemaluan dan dua pantat. Sedangkan mulut, hidung, mata dan telinga termasuk “Juyuub
Zhahirah” yang biasa terlihat karena terletak di bagian wajah yang
merupakan identitas seseorang. Menurutnya, perempuan muslimah hanya wajib
menutup “Juyuub al-Makhfiyah” yakni perhiasan tersembunyi saja bukan “Juyuub
Zhahirah”.[26]
Selanjutnya, pada ayat:
wur úïÏö7ã £`ßgtFt^Î wÎ) $tB tygsß $yg÷YÏB ( tûøóÎôØuø9ur £`ÏdÌßJè¿2 4n?tã £`ÍkÍ5qãã_ (
Berdasar ayat ini, Syahrur
berkesimpulan bahwa Allah memperbolehkan menampakkan “juyuub” yang biasa
terlihat. Menurutnya, kalimat “Khumur” adalah tutup. Dengan demikian
perempuan muslimah hanya diwajibkan menutup daerah antara dua payudara, di
bawah dua payudara, di bawah dua ketiak, daerah kemaluan dan dua pantatnya.
Inilah yang kemudian oleh Syahrur disebut sebagai batas minimal aurat perempuan.[27]
Dalam Masalah aurat perempuan ini,
Syahrur memandang bahwa surat
al-Ahzab: 59 bukanlah ayat yang mengandung hudud, melainkan ayat yang
mengandung anjuran yang bersifat informatif (nubuwwah). Manusia boleh mengikuti
dan boleh juga tidak mengikuti sesuai dengan kondisi dan situasi lingkungannya.
Maka, menurutnya jilbab bukanlah merupakan sebuah syariat wajib yang harus
diikuti. Sedangkan Surat an-Nur: 31, termasuk ayat risalah, yakni kewajiban
dari Allah untuk para hambanya yang menyangkut persoalan halal dan haram.
Walhasil, dalam akhir pembahasannya tentang pakaian wanita ini, Syahrur
menemukan konklusi bahwa pakaian mayoritas wanita di bumi masih belum melanggar
hudud Allah (batas maksimal dan minimal), selama mereka tidak telanjang bulat
dan menutup seluruh tubuhnya tanpa terkecuali.[28]
Hampir senada dengan pandangan Syahrur, Quraish Shihab pun
membantah jika mengenakan jilbab bagi seorang wanita muslimah adalah sebuah
keharusan. Dalam Tafsir Al-Mishbahnya, ia menjelaskan bahwa surat al-Ahzab:59
tidak memerintahkan wanita muslimah untuk memakai jilbab, karena agaknya saat
itu sebagian wanita muslimah telah memakainya. Hanya saja, cara pemakaiannya
belum mendukung apa yang dikehendaki ayat tersebut.[29]
Untuk memperkuat pandangannya ini, Quraish Shihab menampilkan pandangan Sa’id
Al-Asymawi, seorang pemikir liberal asal mesir, bahwa Dalam QS.
Al-Ahzab [33]: 59, ‘illat hukum pada ayat ini, atau tujuan dari
penguluran jilbab adalah agar wanita-wanita merdeka dapat dikenal dan
dibedakan dengan wanita-wanita yang berstatus hamba sahaya dan wanita-wanita
yang tidak terhormat, agar tidak terjadi kerancuan menyangkut mereka dan agar
masing-masing dikenal, sehingga wanita-wanita merdeka tidak mengalami gangguan
dan dengan demikian terpangkas segala kehendak buruk terhadap mereka. Akan tetapi ‘illat hukum itu
kini telah tiada, karena masa kini tidak ada lagi hamba-hamba sahaya, dan
dengan demikian tidak ada lagi keharusan membedakan antara yang merdeka dengan
yang berstatus hamba sahaya. Di samping itu, wanita-wanita mukminah tidak lagi
keluar ke tempat terbuka untuk buang air dan tidak juga mereka diganggu oleh
lelaki usil. Nah, akibat dari ketiadaan ‘illat hukum itu, maka ketetapan
hukum dimaksud menjadi batal dan tidak wajib diterapkan berdasarkan syariat
agama.[30]
Berdasar alur logika yang digunakan Quraish Shihab dalam
menyikapi ayat tentang jilbab, maka sebenarnya dalam hal pakaian wanita yang
terpenting adalah bagaimana seorang wanita mampu berpakaian secara terhormat
sesuai adat, budaya dan kondisi tertentu. Pada dasarnya jilbab adalah budaya
wanita Arab. Sementara, masing-masing daerah mempunyai budaya yang berbeda dan
memaksakan budaya lain pada sebuah daerah tertentu tidaklah tepat.
F.
Kilas Analisis Pendapat Ulama
Sebagaimana pemaparan di atas, bahwa dalam masalah jilbab
ini masih terjadi perselisihan di antara para ulama. Muara awal munculnya
perbedaan pemahaman ini disebabkan adanya perbedaan metode pendekatan
penafsiran. Di samping itu ketidakjelasan nash al-Qur’an dalam menentukan
batasan aurat juga menjadi salah satu pemicu polemik ulama.
Kelompok ulama, seperti Abu Hayyan, Ibnu Jarir
at-Thobari, al-Utsaimin dan Ali ash-Shabuni menyatakan bahwa hukum memakai jilbab adalah wajib bagi
setiap muslimah. Tidak hanya itu, setiap muslimah juga diwajibkan untuk
menutup wajah dan kedua telapak tangannya. Pendapat ini terkesan ekstrim. Dalam
konteks kekinian, bisa dibayangkan jika kemudian seorang muslimah wajib menutup
wajah dan telapak tangannya, maka yang terjadi adalah masyaqqoh sosial.
Identitas wanita menjadi kabur. Kebebasan wanita menjadi sangat terbatasi.
Wanita menjadi sangat susah untuk berinteraksi secara sosial. Syari’at Islam
diturunkan tidak untuk menciptakan Masyaqqat maupun mafsadah, tetapi justru
sebaliknya, ia diturunkan dalam rangka menciptakan maslahah secara umum.
Di sisi lain, kelompok pemikir muslim
seperti M. Syahrur dan Said al-Asymawi menyatakan bahwa sebenarnya pemakaian
jilbab bukanlah sebuah syari’at wajib yang harus dilaksanakan. Ayat tentang
jilbab hanya berbicara tentang budaya lokal arab. Dengan demikian standar
pakaian wanita didasarkan pada ukuran kehormatan dan kesopanan di daerah
tertentu. Bahkan, lebih ekstrim lagi, Syahrur mengeluarkan statement bahwa
selama wanita tidak telanjang bulat, wanita tersebut belum melanggar hudud
Allah. Pendapat ini pun terkesan terlalu bebas dan kelewat batas. Pisau
analisis yang dipakai Syahrur dalam menafsirkan batas-batas aurat tidaklah
tepat. Teori limit yang ia gunakan adalah teori matematika yang bersifat paten.
Dengan metode tersebut Syahrur terjebak dalam “dogmatisme ilmu kealaman”. Ia
menganggap ilmu kealaman adalah juru tafsir satu-satunya yang paling tepat atas
realitas. Padahal Ayat-ayat al-Qur’an senantiasa berdialektika dengan kondisi
sosial budaya yang melingkupinya. Maka, bagaimana mungkin teori ilmu kealaman
yang bersifat pasti digunakan untuk membedah permasalahan yang bersifat sosial
budaya. Inilah yang kemudian menjadi kelemahan teori Syahrur. Aspek sosio-
historis ayat kurang diperhatikan. Berdasar teorinya, akan sangat lucu jika
seorang wanita diperkenankan berjalan-jalan dan melakukan aktifitas sosial
dengan hanya berbikini saja.
Poin penting yang bisa diambil dalam
polemik jilbab ini adalah bahwa sebenarnya jilbab bukanlah sebuah keharusan.
Jilbab pada dasarnya memang tradisi lokal arab. Meski demikian, perempuan
muslimah tidak lantas kemudian bebas mengumbar aurat. Islam mewajibkan
seseorang untuk menutup aurat. Sementara batas aurat wanita adalah seluruh
tubuh kecuali wajah dan telapak tangan. Walhasil, wanita muslimah tidak wajib
berjilbab, tetapi yang wajib adalah menutup aurat. Islam memberikan kebebasan
untuk memakai jenis model pakaian. Yang terpenting adalah pakaian tersebut
mampu untuk menutupi aurat.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Berpijak pada pemaparan di atas, dapat
di ambil konklusi bahwa dalam masalah jilbab ini masih terjadi perselisihan di
kalangan ulama. Ada yang menganggap bahwa memakai jilbab adalah kewajibab bagi
setiap muslimah dan ada pula yang menganggap bahwa pemakaian jilbab bukanlah
sebuah keharusan. Perbedaan ini muncul karena paradigma yang digunakan dari
masing-masing ulama berbeda.
B.
Saran-saran
Syariat jilbab adalah syari’at yang
masih diperdebatkan. Untuk itu, dalam menyikapi perbedaan, hendaklah kita bisa
bersikap arif dan bijaksana. Kita harus mampu membedakan mana khilafiyah yang
terkait dengan masalah ushul dan mana yang furu’. Sikap fanatisme ekstrim
terhadap satu aliran atau pemikiran tertentu sebaiknya ditanggalkan. Saling
menvonis kafir antar kelompok adalah sikap yang semakin menunjukkan
ketidakdewasaan dalam beragama. Maka dari itu, jadikanlah perbedaan sebagai
rahmat bukan sebagai laknat.
[1] Ali
as-Shabuni, Rawa’i al-Bayan fi Tafsir ayat al-Ahkam, (Beirut: Dar
al-Fikr, 2000)II, hlm.303.
[3] Pada
dasarnya, fiil lazim adalah setiap fiil yang tidak mempunyai maf’ul
. Lawan dari fiil tersebut adalah fiil muta’addi, yakni
setiap fiil yang membutuhkan maf’ul. Fiil lazim bisa
berubah menjadi fiil muta’addi dengan bantuan huruf jerr.
Lihat Dahlan Syarah Alfiyah Ibnu Malik, Bab fi’il Muta’addi dan lazim
hlm. 74.
[4] Ali as-Shabuni,
Rawa’i al-Bayan fi Tafsir ayat al-Ahkam, (Beirut: Dar al-Fikr, 2000)II,
hlm.303.
[6] Abu
abdullah Abu Bakar al-Qurthuby, Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an,
(Beirut: Ar-Risalah, 2006)XVII, Hlm. 230.
[7] Ali
as-Shabuni, Rawa’i al-Bayan fi Tafsir ayat al-Ahkam, (Beirut: Dar
al-Fikr, 2000)II, hlm.
304.
[8] Sebagian
ulama nahwu ada yang menyebutnya dengan fiil/af’al at-Tafdhil, namun yang lebih
utama adalah dengat menyebut isim tafdhil. Sebab hakikat dari lafadz tersebut
adalah isim dan supaya dapat mencakup bentuk isim tafdhil lain yang tidak
mengikuti shighat af’ala seperti lafadz Khairun dan Syarrun. Lihat Hasyiyah
Shobban ala syarhi al-Asymuni ala Alfiyah Ibni Malik, Juz 3, hlm 62.
[9] Shighat
Mubalaghah adalah shighat yang dibentuk untuk menunjukkan makna sangat atau
banyak. Salah satu bentuk wazannya adalah
Fa’uulun. Lihat Dahlan Alfiyah, Karya Ahmad Zaini Dahlan, hlm. 108.
[11] Ali
as-Shabuni, Rawa’i al-Bayan fi Tafsir ayat al-Ahkam, (Beirut: Dar
al-Fikr, 2000)II, hlm. 305
[14] Ismail
Ibnu Katsir, Tafsir Qur’an al-Adzim, (ttp., Maktabah Aulad as-Syeikh,
t.t) XI, hlm. 243. Lihat juga Ali as-Shobuni dalam Rawa’i al-Bayan juz II,
hlm. 305.
[15] Kalam
khobari adalah kalam yang masih mengandung kebenaran dan dusta, sementara
insya’i adalah kalam yang tidak mengandung unsur benar dan dusta. Selengkapnya,
lihat Jawahir al-Balaghah, karya Ahmad al-Hasyimi, hlm.53.
[16] Mengenai bentuk-bentuk kalimat yang berakibat pada
hukum wajib, bisa dilihat dalam al-Muhadzzab fi ilmi Ushul al-Fiqh
al-Muqaran, karya Dr. Abdul Karim bin Ali, juz I hlm. 156.
[17] Ali as-Shabuni,
Rawa’i al-Bayan fi Tafsir ayat al-Ahkam, (Beirut: Dar al-Fikr, 2000)II,
hlm. 309.
[19] Ali as-Shabuni,
Rawa’i al-Bayan fi Tafsir Ayat al-Ahkam, (Beirut: Dar
al-Fikr, 2000)II, hlm. 310.
[21]
Ahmad bin abi Bakar al-Qurtubi, Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, (Beirut:
Mua’ssasah Risalah, 2006)XV, hlm.213.
[24] Sadd
adz-Dzari’ah adalah salah satu metode istinbath hukum Islam yang berorientasi
pada pencegahan untuk melakukan sesuatu yang asalnya diperbolehkan karena
berakibat pada terjadinya sesuatu yang dilarang. Lihat Ushul Fiqh
Islami, Karya Wahbah az-Zuhaili, juz II, hlm.873.
[25] Teori
limit adalah salah satu teori dalam ilmu matematika yang kemudian oleh Syahrur
dijadikan sebagai metode interpretasi ayat-ayat al-Qur’an.
Salah paham Tafsir Al Ahzab 59 dan An nur 31 . Sebenarnya Jilbab itu tidak wajib bagi wanita indonesia.
BalasHapus“Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu dan anak-anak perempuanmu dan wanita orang-orang mukmin, agar mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka. Itu menjadikan mereka lebih mudah dikenal, sehingga mereka tidak mudah diganggu. Dan Allah maha pengampun lagi maha Penyayang.” ...( suatu kalimat Sejarah yaitu suatu kailmat yang berhubungan dengan situasi kejadian saat itu yang menimpa umat Islam .pen ) (QS 33 Al-Ahzaab : 59)
Ulama TEKSTUAL biasanya mengatakan wajibnya jilbab karena di Al Ahzab 59 , disebutkan kata kata / TEKS JILBAB sehingga ayat ini dimaknai sebagai ayat yang mewajibkan jilbab. Tapi ulama KONTEKSTUAL menafsirkan ayat ini berdasarkan asbabun nuzul (sebab sebab turuny a ayat ini ), sesuai sejarah saat itu . Sehingga wajib berjilbab dimaknai hanya SAAT ITU SAJA.
Penyebab dari turunnya ayat ini dikarenakan terjadinya suatu insiden, yaitu diganggunya istri Nabi karena DIKIRA BUDAK. BUDAK saat itu , STATUSNYA seperti halnya orang2 tidak mampu (miskin) jaman sekarang. Mereka adalah obyek yang rentan pelecehan secara hukum. Hal ini karena para budak itu tidak ada yang melindungi , belum ada sistem hukum modern , seperti undang2 , polisi, hakim, jaksa dsb . Perangkat hukum modern ini melindungi siapa saja.
Jilbab hanya dipakai oleh para bangsawan dan wanita merdeka . Status ini tentu saja mempunyai kedudukan yang sangat kuat . Sebagai istri bangsawan yaitu istri para saudagar /keluarga/Bani yang secara finansial kuat dan berkuasa, tidak ada seorangpun yang berani mengganggu. Demikian juga bagi wanita merdeka , statusnya lebih terhormat dibanding budak yang bisa diperlakukan apa saja , karena hidup mereka sudah dibeli. Itulah penggalan terakhir Al Ahzab 59 : "ITU MENJADIKAN MEREKA LEBIH MUDAH DIKENAL , SEHINGGA MEREKA TIDAK MUDAH DIGANGGU" .
Peraturan ini, BUDAK dilarang memakai jilbab dan jilbab hanya dipakai oleh para wanita bangsawan dan wanita merdeka , akibat masih berpengaruhnya "undang2 wajib jilbab " oleh negara Assyria /kerajaan penyembah berhala. Kejadian ini mirip dengan NAD atau propinsi Aceh yang mewajibkan SEMUA wanitanya memakai jilbab, karena memandang jilbab suatu yang Islami . Undang2 yang diterapkan oleh kerajaan nenek moyang mereka , yaitu kerajaan Assyria 1075 SM, atau 1700 tahun sebelum datangnya Islam ini , dapat di misalkan seperti aturan di kerajaan - kerajaan Indonesia ratusan tahun yang lalu. Sebagai misal keturunan kerajaan diwajibkan memakai gelar Raden, Raden Mas, Daeng, Teuku...dan lain sebagainya . Semua peraturan ini masih terasa pengaruhnya sampai jaman ini. Demikian pula, peraturan kerajaan Assyria ( Negara Iran/Irak sekarang) itu , masih terasa pengaruhnya di jaman Nabi .
Selengkapnya anda dapat membuka blog saya : Blog Dokterabimanyu bagi wanita Indonesia jilbab tidak wajib, benarkah? Dan punahnya budaya Indonesia. Dan , blog Dokterabimanyu tafsir Al Ahzab 59 dan An Nur 31 jilbab tidak wajib.
Teungku...
BalasHapusNa lee Daalill Al- Qur'an tentang Niqob?